Kebahagiaan tidak tergantung dari kondisi kaya atau miskin. Betapapun miskin atau prihatin, selama kasih sayang selalu menjadi landasan hidup, seorang anak tetap dapat berkembang dengan baik.
Dasar pemikiran yang seyogyanya dimiliki oleh para usahawan adalah bahwa keluarga merupakan pusat kebahagiaan primer. Tidak ada kebahagiaan yang begitu lengkap dan sempurna selain kebahagiaan didalam keluarga. Itu sebabnya alam mengatur manusia agar membentuk keluarganya masing-masing. Masyarakat terbentuk dari keluarga-keluarga. Ini tidak berarti bahwa sebelum seseorang menikah, ia tidak bisa bahagia. Karena, mereka yang masih membujang, juga punya keluarga, yaitu orang tua, kakak, adik, paman, bibi atau famili.
Joey Nielsen, seorang instruktur dari Wang Laboratories di Honolulu dalam suatu kunjungan ke Jakarta mengatakan : “Anda beserta keluarga membentuk sebuah tim. Tim ini harus kompak dan hubungan antara sesama anggotanya harus harmonis. Dengan demikian, baru kebahagian hidup bisa dicapai secara sempurna..”
Kita setuju dengan Joey. Kunci keberhasilan sebuah keluarga terletak dari bagaimana cara mereka untuk bisa berkoordinasi satu sama lain. Keterbukaan amat diperlukan, agar saling pengertian bisa tercipta dengan baik. Seorang suami yang workoholic alias gila kerja, bisa mengutarakan kebiasaannya itu kepada sang istri dan anak-anak, untuk mendapat kelapangan dada mereka. Sebaliknya suami juga harus mengerti kebutuhan keluarga. Setiap ada kesempatan, berikan waktu dan perhatian yang cukup kepada semua anggota keluarga.
Kebutuhan keluarga yang paling mendasar adalah nafkah. Sejauh ini pengertian nafkah memang hanya sebatas “SPPK”, yaitu sandang, pangan, papan dan kendaraan. Bila itu semua sudah terpenuhi, akan tetapi suami sebagai kepala keluarga tetap tidak bisa berbagi waktu dengan keluarga, maka istri dan anak-anak akan sulit menerimanya. Ia akan diangap sebagai manusia egois, kurang tanggung jawab dan mau enak sendiri. Kalau keadaan seperti itu berlarut-larut tanpa penjelasan yang bijaksana, maka suasana rumah tangga akan mulai berkembang kearah yang mengganggu kebahagiaan. Pada puncaknya, bisa saja keluarga akan menuduh suami atau ayah mulai berbuat macam-macam, nyeleweng dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, patut dimengerti bahwa keterbukaan dan saling pengertian harus dibudayakan sejak awal.
Dikotomi nafkah versus prestasi juga harus dicermati. Keluarga hendaknya bisa mengerti bahwa terpenuhinya SPPK bukanlah akhir dari pengorbanan, yang merupakan saatnya ayah atau suami tinggal dirumah menghabiskan waktu bersama anak dan istri. Kepala keluarga masih memerlukan kesempatan untuk memaksimalkan unjuk-kerjanya, antara lain demi lebih memantapkan kondisi keuangan keluarga, perusahaan, dan juga untuk memenuhi kebutuhan motivasinya sebagai manusia untuk berprestasi.
Hal ini jelas penting, karena kalau motivasi untuk berprestasi itu hilang, maka
kemungkinan besar yang bersangkutan akan terhinggapi SKT (sindroma kehilangan tujuan) sebagaimana yang telah dijelaskan dibagian terdahulu. Dan kalau itu terjadi, maka apa yang dikuatirkan di atas seperti penyelewengan dan macam-macam, justru berpeluang untuk terjadi. Marilah kita tinjau lebih jauh mengenai persoalan tersebut.
Motivasi awal seseorang memulai karirnya, baik sebagai pengusaha ataupun sebagai karyawan, umumnya untuk mencari nafkah. Yaitu guna memenuhi kebutuhan dasar yang berupa sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (perumahan) serta kendaraan. Kita sebut saja sebagai SPPK.. Apabila suatu waktu, semua kebutuhan SPPK sudah terpenuhi, maka ia tidak lagi mempunyai target hidup yang jelas, sehingga sindroma membayangi.
Mereka yang mempunyai sikap mental cukup baik, atau memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, dapat mengatasi sindroma itu dengan mengalihkan semua pendapatan yang diperoleh untuk ditabung seluruhnya, dengan maksud untuk bekal masa depan anak-anaknya nanti. Tetapi, yang imannya kurang kuat dapat saja tergelincir kedalam hal-hal negatif.
Motivasi kerja yang hanya berlatar belakang mencari nafkah, disebut Motivasi Nafkah (Subsistence Motivation). Rata-rata pengusaha kecil di Indonesia memulai karirnya berdasarkan jenis motivasi ini, sehingga ketika banyak diantaranya sudah mulai sukses, mereka terkena SKT. Pengaruh buruk SKT ini menyebabkan sulitnya pengusaha kecil beranjak dari statusnya sekarang, menjadi pengusaha menengah atau besar.
Kita patut angkat topi untuk memuji saudara-saudara kita yang telah menjadi pelopor kewiraswastaan sejati di Indonesia, seperti pengusaha-pengusaha Warung Tegal atau Restoran Padang, karena meskipun kesuksesannya dibayangi sindroma, tetapi masih mampu berbuat banyak untuk membangun kampung halaman masing-masing.
Guna mencegah sindroma pada saat sukses nanti, seharusnya seorang pengusaha pemula telah bersiap dengan motivasi yang lebih tinggi tingkatannya, yakni yang kita sebut sebagai Motivasi Prestasi (Achievement Motivation). Dengan berbekal motivasi jenis ini, sasaran pengusaha tidak berhenti sebatas pemenuhan nafkah dasar atau SPPK saja. Sehingga, walaupun kondisi usaha dan rumah tangga sudah berkecukupan, pengusaha tidak akan berhenti atau mengendurkan kegiatannya. Karena ia tahu masih banyak yang bisa diperbuat atau dicapai dalam dunia ini, terutama hasil-hasil yang bermanfaat bagi orang banyak, masyarakat dan negara.
Salah satu bukti prestasi dari pengusaha-pengusaha yang memulai usaha dari kecil, berjuang, berhasil dan tidak terkena sindroma, adalah apa yang telah dilakukan oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia ). Mereka kini telah membangun gedung megah bertaraf internasional yang bisa dimanfaatkan oleh pengusaha-pangusaha lain. Bahkan tadinya, mereka telah mendapatkan kepercayaan untuk mengambil alih sebuah perusahaan besar yang macet, Kanindotex. Kita berharap contoh ini dapat menjadi acuan bagi pengusaha lain, yang juga memulai usahanya dari kecil.
Sampai sebatas ini, kita telah merekomendasikan bahwa pengertian dan dukungan keluarga terhadap pengusaha, amat diperlukan. Disamping itu, pengusaha juga hendaknya meletakkan Motivasi Prestasi atau Achievement Motivation sebagai landasan kerja, sehingga bisa terhindar dari sindroma kehilangan tujuan. Respek keluarga akan lebih diperlukan bagi para pengusaha wanita, karena peran kodrati yang bersangkutan sebagai ibu rumah tangga, sedikit banyak akan merupakan beban tambahan.
ALIFA BUSANA MUSLIM
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda.
beritahu teman anda dan tinggalkan pesan anda di sini.